Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menghitung bahwa anggaran makan pada rapat dan kegiatan bisa ditekan sebesar
25 – 30 persen hanya dengan mengganti menu dengan singkong. Kebijakan
menu baru berbahan singkong dan bahan makanan tradisional ini berkaitan
dengan rencana Presiden Joko Widodo menghemat biaya rapat kementerian.
Selain itu himbauan ini juga
ditujukan untuk menggiatkan sektor pertanian di dalam negeri.
ditujukan untuk menggiatkan sektor pertanian di dalam negeri.
Ketergantungan
masyarakat Indonesia terhadap konsumsi beras membuat singkong menjadi
bahan pokok nomor dua. Kondisi ini bisa terlihat dari data konsumsi
rata-rata per kapita per tahun bahan pangan di Indonesia. Konsumsi beras
masih menjadi primadona meskipun konsumsinya mengalami penurunan tiap
tahun sejak 2009 hingga 2013. Rata-rata satu orang di Indonesia
mengongsumsi beras seberat 90 kg per tahun. Ketergantungan terhadap beras ini mengakibatkan neraca perdagangan pangan kita selalu mengalami defisit.
Pada
tahun 2014 lalu Kementerian Pertanian (Kementan) Republik Indonesia
melalui Badan Ketahanan Pangan menetapkan 2014 sebagai tahun singkong.
Penetapan sebagai tahun singkong itu, menurut Kepala Badan Ketahanan
Pangan Kementan RI, Ahmad Suryana, sebagai langkah awal dalam menerapkan
program nasional gerakan diversifikasi pangan. Untuk itu pemerintah
menggalakkan program makan singkong sebagai pengganti nasi karena
potensi singkong di Indonesia sangat besar.
Permasalahannya
adalah Indonesia sejak tahun 2007 masih melakukan impor singkong. Wakil
Menteri Perdagangan saat itu Bayu Krisnamurthi di bulan Desember 2012
mengakui bahwa Indonesia mulai mengimpor singkong sejak 2007 lalu
sebanyak 300 ribu ton, pada 2008 Indonesia mengimpor 160 ribu ton, pada
2009 impor 170 ribu ton, pada 2010 mengimpor 290 ribu ton, serta pada
2011 Indonesia mengimpor sebanyak 435 ton. Bayu memastikan Indonesia
tidak mengimpor singkong dalam bentuk potongan singkong.
Bayu
beralasan bahwa saat ini kebutuhan tepung tapioka di Indonesia baru
sanggup memproduksi sebesar 100 ribu ton per tahun. Selain itu, alasan
lainnya adalah kualitas singkong di Indonesia belum memadai. Para petani
menanam singkong hanya untuk mengisi lahan kosong dan tidak ada
manajemen penanaman.
Ketua Budidaya Singkong Himpunan Asosiasi Industri Singkong Indonesia John Waas berpendapat bahwa
masalah yang dihadapi petani singkong adalah sulitnya mendapatkan
pinjaman modal dari perbankan. Hanya kurang dari 1% petani yang memiliki
akses kepada perbankan.
Kebangkitan Singkong Indonesia
Menurut
Menteri Pertanian Anton Priyantono pada bulan Juli 2014 lalu harga
singkong (ubi kayu) mengalami peningkatan dan makin menarik dan
menguntungkan karena memang banyak produk turunannya. Di tahun 2014 ini
banyak tanaman singkong yang semakin luas arealnya yaitu sekitar lebih
dari 1,06 juta hektar. Meski produktivitas singkong masih sekitar 20 ton
per hektar, yang di tahun 2013 lalu sebesar 22,14 ton per hektar. Namun
sebenarnya, potensi genetik singkong di Indonesia itu termasuk tinggi,
rata-rata di atas 30-40 ton per hektar. Bahkan produktivitas singkong
gajah di Kalimantan Timur bisa mencapai 120-140 ton per hektar.
Pemerintah menargetkan produksi singkong pada 2014 mencapai 27,6 juta
ton dengan luas lahan tanaman 1,5 juta hektare.
Saat
ini, Indonesia termasuk dari 3 (tiga) negara penghasil singkong
terbesar di dunia. Dan Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi
negara penghasil singkong terbesar di dunia karena diversifikasi
budidaya singkong kita terus berkembang pesat. Untuk produksi ubi kayu
tahun 2008 produksi 21.756.991 ton, dan tahun 2011 meningkat mencapai
24.044.025 ton. Lalu pada tahun 2013 meningkat lagi menjadi 23.936.921
ton. Jika dirata-rata dari tahun 2009, produktivitas naik sekitar 4,64
persen dan produksi naik sekitar 2,04 persen. Dan tahun ini diperkirakan
sekitar 26 juta ton.
dikutip dari selasar.com
Tag :
Semua tentang singkong
0 Komentar untuk "kebangkitan singkong indonesia"